Senin, 25 Juli 2011

Berpikir Kritis Dalam Keperawatan

Berpikir Kritis
Pengertian Berpikir
Sebelum kita mengetahui apa itu pengertian berpikir kritis ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu mengenai pengertian berpikir. Berpikir adalah aktivitas yang sifatnya mencari idea tau gagasan dengan menggunakan berbagai ringkasan yang masuk akal. Tri Rusmi dalam Perilaku Manusia (1996), mengatakan berpikir adalah suatu proses sensasi, persepsi, dan memori/ ingatan, berpikir mengunakan lambang (visual atau gambar), serta adanya suatu penarikan kesimpulan yang disertai proses pemecahan masalah.
Berpikir adalah menggunakan pikiran dan mencakup membuat pendapat, membuat keputusan, menarik kesimpulan, dan merefleksikan (Gordon, 1995 ). Berpikir merupakan suatu proses yang aktif dan terkoordinasi ( Chaffe, 1994 ). Dalam kaitannya dengan keperawatan, berpikir kritis adalah reflektif, pemikiran yang masuk akal tentang masalah keperawatan tanpa ada solusi dan difokuskan pada keputusan apa yang harus diyakini dan dilakukan ( Katako-Yahiro dan Saylor, 1994). Jadi yang merupakan pengertian berpikir merupakan suatu proses yang berjalan secara berkesinambungan mencakup interaksi dari suatu rangkaian pikiran dan persepsi.
Teknik Berpikir
Berpikir memiliki berbagai macam teknik, antara lain; berpikir austik, berpikir realistic, berpikir kreatif dan berpikir evaluative.
1.      Berpikir Austik
Pada saat melamun seseorang menghayal dan sering berfantasi memikirkan sesuatu yang terkadang tidak sesuai dengan keadaan. Setiap orang pernah terlibat dengan cara ini, namun harus selalu terkendali. Oleh karena itu, berpikir austik sering diidentikkan dengan melamun. Misalnya, seseorang yang berhayal ingin mempunyai pesawat terbang.
2.      Berpikir Realistic
Berpikir realistic dilakukan oleh seseorang saat menyesuaikan diri dengan situasi yang nyata. Pada berpikir realistic, seseorang melihat situasi nyata yang ada, kemudian langsung menarik suatu kesimpulan, selanjutnya direalisasikan pada penaglaman nyata. Hal ini disebut berpikir realistic induktif. Misalnya, pada kondisi bangun kesiangan saat masuk kuliah pagi, seseorang akan memikirkan alternative untuk tidak bangun kesiangan. Selanjutnya, jika seseorang berpikir dengan melihat pengalaman sebelumnya, kemudian menarik suatu kesimpulan dari situasi yang ada, disebut berpikir realistis deduktif.
3.      Berpikir Kreatif
Berpikir kreatif dilakukan untuk menemukan sesuatu yang baru. Berpikir kreatif memerlukan stimulus atau rangsangan dari lingkungan yang dapat memicu seseorang berkreativitas. Seseorang baru dikatakan berpikir kreatif jika ada perubahan atau menciptakan sesuatu yang baru. Berpikir kreatif dilakukan berdasarkan manfaat atau tujuan yang pasti, menyelesaikan dengan baik suatu masalah, dan menghasilkan ide yang baru atau menata kembali ide lama dalam bentuk baru.
4.      Berpikir Evaluatif
Pada saat seseorang berpikir evaluative, berarti ia mempelajari dan menilai baik buruknya suatu keadaan, tepat tidaknya suatu gagasan , serta perlu tidaknya perubahan suatu gagasan. Misalnya, ketika seseorang merencanakan membeli jas baru, keuntungan dan kerugiannya, serta apakahtepat jika membeli jika kondisi tidak memungkinkan.
           
Pengertian Berpikir Kritis
Berfikir kritis adalah suatu proses dimana seseorang atau individu dituntut untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi informasi untuk membuat sebuah penilaian atau keputusan berdasarkan kemampuan,menerapkan ilmu pengetahuan dan pengalaman. ( Pery & Potter,2005). Menurut Bandman dan Bandman (1988), berpikir kritis adalah pengujian secara rasional terhadap ide-ide, kesimpulan, pendapat, prinsip, pemikiran, masalah, kepercayaan dan tindakan. Menurut Strader (1992), bepikir kritis adalah suatu proses pengujian yang menitikberatkan pendapat tentang kejadian atau fakta yang mutakhir dan menginterprestasikannya serta mengevaluasi pandapat-pandapat tersebut untuk mendapatkan suatu kesimpulan tentang adanya perspektif/ pandangan baru.
Berpikir kritis adalah suatu proses berpikir sistematik yang penting bagi seorang profesional. Berpikir kritis akan membantu profesional dalam memenuhi kebutuhan klien. Berpikir kritis adalah berpikir dengan tujuan dan mengarah-sasaran yang membantu individu membuat penilaian berdasarkan data bukan perkiraan (Alfaro-LeFevre 1995). Berpikir kritis berdasarkan pada metode penyelidikan ilmiah, yang juga menjadi akar dalam proses keperawatan. Berpikir kritis dan proses keperawatan adalah krusial untuk keperawatan profesional karena cara berpikir ini terdiri atas pendekatan holistik untuk pemecahan masalah.
Berpikir kritis adalah proses perkembangan kompleks yang berdasarkan pada pikiran rasional dan cermat. Menjadi pemikir kritis adalah sebuah denominator umum untuk pengetahuan yang menjadi contoh dalam pemikiran yang disiplin dan mandiri. Pengetahuan didapat, dikaji dan diatur melalui berpikir. Keterampilan kognitif yang digunakan dalam berpikir kualitas-tinggi memerlukan disiplin intelektual, evaluasi-diri, berpikir ulang, oposisi, tantangan, dan dukungan (Paul, 1993). Berpikir kritis mentransformasikan cara individu memandang dirinya sendiri, memahami dunia. dan membuat keputusan (Chafee 1994).
Jadi yang dimaksud dengan berpikir kritis merupakan suatu tehnik berpikir yang melatih kemampuan dalam mengevaluasi atau melakukan penilaian secara cermat tentang tepat-tidaknya ataupun layak-tidaknya suatu gagasan yang mencakup penilaian dan analisa secara rasional tentang semua informasi, masukan, pendapat dan ide yang ada, kemudian merumuskan kesimpulan dan mengambil suatu keputusan.
Bahwa untuk mendapatkan suatu hasil berpikir yang kritis, seseorang harus melakukan suatu kegiatan (proses) berpikir yang mempunyai tujuan (purposeful thinking), bukan “asal” berpikir yang tidak diketahui apa yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut. Artinya, walau dalam kehidupan sehari-hari seseorang sering melakukan proses berpikir yang terjadi secara “otomatis” (misal; dalam menjawab pertanyaan “siapa namamu?”). Banyak pula situasi yang memaksa seseorang untuk melakukan kegiatan berpikir yang memang di “rencanakan” ditinjau dari sudut “apa” (what), “bagaimana” (how), dan “mengapa” (why). Hal ini dilakukan jika berhadapan dengan situasi (masalah) yang sulit atau baru.

Tingkatan Berpikir Kritis
Kataoka-Yahiro dan Saylor (1994) mengidentifikasi tiga tingkatan berpikir kritis dalam keperawatan yaitu tingkat dasar, kompleks dan komitmen.
Pada tingkat dasar seseorang mempunyai kewenangan untuk menjawab setiap masalah dengan benar. Pemikiran ini harus berdasarkan pada kenyataan yang terjadi dengan berpegang pada berbagai aturan atau prinsip yang berlaku. Ini adalah langkah awal dalam kemampuan perkembangan member alasan (kataoka-Yahiro dan Saylor, 1994). Ketika perawat sebagai orang baru yang belum berpengalaman di pelayanan, berpikir kritisnya dalam melakukan asuhan keperawatan sangat terbatas. Oleh karena itu, ia harus mau belajar dari perawat lain dan menerima berbagai pendapat dari orang lain.
Pada tingkat kompleks, seseorang akan lebih mengakui banyaknya perbedaan pandangan dan persepsi. Pengalaman dapat membantu seseorang menambah kemampuannya untuk melepaskan ego atau kekuasaanya untuk menerima pendapat orang lain kemudian menganalisis dan menguji alternative secara mandiri dan sistematis. Untuk melihat bagaimana tindakan keperawatan mempunyai keuntungan bagi klien, perawat dapat mulai mencoba berbagai alternative yang ada dengan membuat rentang yang lebih luas untuk pencapaiannya. Hal ini membutuhkan lebih dari satu pemecahan masalah untuk setiap masalah yang ditemukan. Di sini perawat belajar berbagai pendekatan yang berbeda-beda untuk jenis penyakti yang sama.
Pada tingkat komitmen, perawat sudah memilih tindakan apa yang akan dilakukan berdasarkan hasil identifikasi dari berbagai alternative pada tingkat kompleks. Perawat dapat mengantisipasi kebutuhan kelien untuk membuat pilihan-pilihan kritis sesudah menganalisis berbagai manfaat dari alternative yang ada. Kematangan seorang perawat akan tampak dalam memberikan pelayanan dengan baik, lebih inovatif dan lebih tepat guna bagi perawatan klien.

Model Berpikir Kritis
Kataoka -Yahiro dan Saylor telah mengembangkan suatu model tentang berpikir kritis untuk penilaian keperawatan. Model ini mendefinisikan hasil dari perpikir kritis sebagai penilaian keperawatan yang relevan atau sesuai dengan masalah-masalah keperawatan dalam kondisi yang bervariasi. Model ini dirancang untuk peniaian keperawatan ditingkat pelayanan, pengelolaan dan pendidikan. Ketika seorang perawat berada di pelayanan, model ini mengemukakan lima komponen berpikir kritis yang mengarahkan perawat untuk membuat rencana tindakan agar asuahan keperawatan aman dan efektif.
1.      Dasar Pengetahuan Khusus
Komponen pertama berpikir kritis adalah dasar pengetahuan khusus perawat dalam keperawatan. Dasar pengetahuan ini beragam sesuai dengan program pendidikan dasar keperawatan dari jenjang mana perawat diluluskan, pendidikan berkelanjutan tambahan, dan setiap gelar tingkat lanjut yang didapatkan perawat.
Dasar pengetahuan perawat mencakup informasi dan teori dari ilmu pengetahuan alam, humaniora, dan keperawatan yang diperlukan untuk memikirkan masalah keperawatan. Informasi tersebut memberikan data yang digunakan dalam berbagai proses berpikir kritis. Penting artinya bahwa dasar pengetahuan ini mencakup pendekatan yang menguatkan kemampuan perawat untuk ber[ikir secara kritis tentang masalah keperawatan.
2.      Pengalaman
Komponen kedua dari model berpikir kritis adalah pengalaman dalam keperawatan. Kecuali perawat mempunyai kesempatan untuk berpraktik di dalam lingkungan klinik dan membuat keputusan tentang perawat klien, berpikir kritis tidak akan pernah terbentuk. Ketika perawat harus menghadapi klien, informasi tentang kesehatan dapat diketahui dari mengamati, merasakan, berbicara dengan klien, dan merefleksikan secara aktif pada pengalaman.
Pengalaman perawat dalam peraktik klinik akan mempercepat proses berpikir kritis karena ia akan berhubungan dengan kliennya, melakukan wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, dan membuat keputusan untuk melakukan perawatan terhadap masalah kesehatan.
Pengalaman adalah hasil interaksi antara individu melalui alat indranya dan stimulus yang berasal dari beberapa sumber belajar. Menurut Rowntree pada proses belajar ada lima jenis stimulus atau rangsangan yang berasal dari sumber belajar.
a.       Interaksi manusia (verbal dan nonverbal), adalah interaksi antara manusia baik verbal maupun nonverbal.
b.      Realita (benda nyata, orang dan kejadian), adalah rangsangan yang meliputi benda-benda nyata, peristiwa nyata, binatang nyata, dan sebagainya.
c.       Pictorial representation, adalah jenis rangsangan gambar yang mewakli suatu objek dan peristiwa
d.      Written symbols, adalah lambang tertulis yang dapat disajikan dalam berbagai macam media.
e.       Recorded sound, adalah rangsangan dengan suara rekaman yang membantu mengontrol realitas mengingat bahwa suara senantiasa berlangsung atau jalan terus.
3.      Kompetensi
Kompetensi berpikir kritis adalah proses kognitif yang digunakan perawat untuk membuat penilaian keperawatan. Terdapat tiga tipe kompetensi yaitu berpikir kritis umum yang meliputi pengetahuan tentang metode ilmiah, penyelesaian masalah, dan pembuatan keputusan., berpikir kritis spesifik dalam situasi klinis yang meliputi alasan mengangkat diagnose dan membuat keputusan untuk perencanaan tindakan selanjutnya, dan berpikir kritis spesifik dalam keperawatan melalui pendekatan proses keperawatan (pengkajian sampai evaluasi).
4.      Sikap untuk Berpikir Kritis
Paul (1993) telah meringkaskan sikap-sikap yang merupakan aspek sentral dari pemikir kritis. Sikap ini adalah nili yang harus ditunjukkan keberhasilannya oleh pemikir kritis. Individu harus menunjukkan keterampilan kognitif untuk berpikir secara kritis, tetapi juga penting untuk memastikan bahwa keterampilan ini digunakan secara adil dan bertanggung jawab. Berikut ini contoh sikap berpikir kritis.
1.      Tanggung gugat
Ketika individu mendekati suatu situasi yang membutuhkan berpikir kritis, adalah tugas individu tersebut untuk “mudah menjawab” apa pun keputusan yang dibuatnya. Sebagai perawat professional, perawat harus membuat keputusan dalam berespons terhadap hak, kebutuhan, dan minat klien. Perawat harus menerima tanggung gugat untuk apapun penilaian yang dibuatnya atas nama pasien.
2.      Berpikir mandiri
Sejalan dengan seseorang menjadi dewasa dan mendapatkan pengetahuan baru, mereka belajar mempertimbangkan ide dan konsep dengan rentang yang luas dan kemudian membuat penilaian mereka sendiri. Untuk berpikir secara mandiri, seorang menantang cara tradisional dalam berpikir, dan mencari rasional serta jawaban logis untuk masalah yang ada
3.      Mengambil risiko
Dalam hal ini perawat perlu dibutuhkan niat dan kemauan mengambil risiko untuk mengenali keyakinan apa yang salah dan untuk kemudian melakukan tindakan didasarkan pada keyakinan yang didukung oleh fakta dan dan bukti yang kuat.
4.      Kerendahan hati
Penting untuk mengetahui keterbatasan diri sendiri. Pemikir kritis menerima bahwa mereka tidak mengetahui dan mencoba untuk mendapatkan pengetahuan yang diperlukan untuk membuat keputusan yang tepat. Keselamatan dan kesejahteraan klien mungkin berisiko jika perawat tidak mampu mengenali ketidakmampuannya untuk mengatasi masalah praktik.
5.      Integritas
Pemikir kritis mempertanyakan dan menguji pengetahuan dan keyakinan pribadinya seteliti mereka menguji pengetahuan dan keyakinan orang lain. Integritas pribadi membangun rasa percaya dari sejawat dan bawahan. Orang yang mempunyai integritas dengan cepat berkeinginan untuk mengakui dan mengevaluasi segala ketidakkonsistenan dalam ide dan keyakinannya.
6.      Ketekunan
Pemikir kritis terus bertekad untuk menemukan solusi yang efektif untuk masalah perawatan klien. Solusi yang cepat adalah hal yang tidak dapat diterima. Perawat belajar sebanyak mungkin mengenai masalah, mencoba berbagai pendekatan untuk perawatan, dan terus mencari sumber tambahan sampai pendekatan yang tepat ditemukan.
7.      Kreativitas
Kreativitas mencakup berpikir original. Hal ini berarti menemukan solusi di luar apa yang dilakukan secara tradisional. Sering kali klien menghadapi masalah yang membutuhkan pendekatan unik.

Standar untuk Berpikir Kritis
Paul (1993) menemukan bahwa standar intelektual menjadi universal untuk berpikir kritis. Standar professional untuk berpikir kritis mengacu pada kriteria etik untuk penilaian keperawatan dan kriteria unuk tanggung jawab dan tanggung gugat professional. Penerapan standar ini mengharuskan perawat menggunakan berpikir kritis untuk kebaikan individu atau kelompok. (Kataoka-Yhiro & Saylor, 1994 ).

Tingkat Proses Berpikir dalam Keperawatan
Model Kataoka-Yahiro & Saylor, (1994) mengidentifikasi tiga tingkat berpikir kritis dalam keperawatan : tingkat dasar, kompleks, dan komitmen. Tingkat ini cenderung sejajar dengan lima tingkat kecakapan diuraikan oleh Benner (1984): pendatang, pemula lanjut, kompeten, cakap, dan ahli.
Pada tingkat dasar pembelajar menganggap bahwa yang berwenang mempunyai jawaban yang benar untuk setiap masalah. Berpikir cenderung untuk menjadi konkret dan didasarkan pada serangkaian peraturan atau prinsip. Hal ini merupakan langkah awaldalam perkembangan kemampuan mempertimbangkan ( Kataoka-Yahiko & Saylor, 1994). Individu mempunyai keterbatasan pengalaman dalam menerapkan berpikir kritis. Di samping kecenderungan untuk diatur oleh orang lain, individu belajar menerima perbedaan  pendapat dan nilai-nilai di antarapihak yang berwenang. Dalam kasus perawat baru, berpikir kritis sambil melakukan prosedur keperawatan masih terbatas. Pendekatan tahap-demi-tahap digunakan untuk memberikan perawatan dan mungkin tidak dapat diadaptasi untuk kebutuhan klien yang unik atau yang tidak lazim.
Pada tingkat berpikir kritis yang kompleks seseorang secara kontinu mengenali keragaman dari pandangan dan persepsi individu. Apa yang berubah adalah kemampuan dan inisiatif individu. Pengalaman membantu individu mencapai kemampuan untuk terlepas dari kewenangan dan menganalisis serta meneliti alternative secara lebih mandiri dan sistematis. Dalam kaitannya dengan keperawatan, praktisi mulai untuk mencari bagaimana tindakan keperawatan mempunyai manfaat jangka panjang untuk klien. Perawat mulai mengantisipasi alternative lebih baik dan menggali lebih luas. Hanya kemauan untuk mempertimbangkan penyimpangan protokol atau peraturan standar ketika terjadi situasi klien yang kompleks.
Tingkat ketiga dari berpikir kritis adalah komitmen. Pada tingkat ini perwat memilih tindakan atau keyakinan berdasarkan alternative yang diidentifikasi pada tingkat berpikir yang kompleks. Perawat mampu untuk mengantisipasi kebutuhan untuk membuat pilihan yang kritis setelah menganalisis keuntungan dari alternative lainnya. Maturitas perawat tersermin dalam kerutinan selalu mencari pilihn yang terbaik, yang paling inovatif, dan paling sesuai untuk perawatan klien.

            Berpikir Kritis dalam Asuhan Keperawatan
a.      Pendekatan Berpikir Kritis Untuk Pengkajian
Dalam lingkungan perawatan kesehatan yang kompleks sekarang ini, perawat harus mampu memecahkan masalah secara akurat, menyeluruh, dan cepat. Hal ini berarti bahwa perawat harus mampu menelaah informasi dalam jumlah yang sangat banyak untuk membuat penilaian kritis.
Penting artinya bagi perawat untuk belajar berpikir secara kritis tentang apa yang harus dikaji. Penilaian mandiri tentang kapan pertanyaan atau pengukuran diperlukan adalah dipengaruhi oleh pengetahuan  dan pengalaman klinik perawat (Gordon, 1994).
b.      Berpikir Kritis dan Proses Diagnostik Keperawatan
Berpikir kritis adalah pemeriksaan data, pengumpulan informasi dari literatur, pengorganisasian pengamatan, dan penelitian atas pengalaman masa lalu (Bandman & Bandman, 1995). Penggunaannya dalam perumusan diagnosa keperawatan adalah penting. Pada saat asuhan keperawatan meluas ke dalam berbagai lingkungan perawatan kesehatan, makin banyak aspek berpikir kritis diperlukan dalam pertimbangan dan penilaian diagnostic (Gordon, 1994).
Proses diagnostik ini memadukan ketrampilan berpikir kritis dalam langkah-langkah pembuatan keputusan yang digunakan perawat untuk mengembangkan pernyataan diagnostik (Carnevali, 1984; Carnevali & Thomas, 1993). Proses ini mencakup analisis dan interpretasi data pengkajian, identifikasi masalah, dan merumuskan diagnosa keperawatan.
c.         Berpikir Kritis dan Merancang Intervensi Keperawatan
Memilih intervensi keperawatan yang sesuai adalah proses pembuatan keputusan (Bulechek & McCloskey, 1990). Perawat secara kritis mengevaluasi data pengkajian, prioritas, pengetahuan, dan pengalaman untuk memilih tindakan yang akan secara berhasil memenuhi tujuan dan hasil yang diperkirakan yang telah ditetapkan (Gordon, 1994; Gordon et al, 1994).
d.      Keterampilan Berpikir Kritis dan Pengimplementasian Intervensi Keperawatan
Perawat membuat dua jenis keputusan yang besar dalam proses keperawatan. Proses diagnostik menentukan kekuatan dan masalah klien saat pembuatan konklusi pengkajian dan sepanjang fase diagnostic (Bandman & Bandman, 1994; Mc Farland dan Mc Farlane, 1989). Perawat kemudian menggunakan pendekatan metodis, sistematis, yang didasarkan pada riset untuk merencanakan dan memilih intervensi yang sesuai (Bulechek & McCloskey, 1995; Gordon, 1987, 1994).
Peserta didik harus cermat memilih intervensi yang dirancang untuk mencapai hasil yang diharapkan dan mengetahui perbedaan antara intervensi perawat dan intervensi dokter.
e.        Revisi Rencana Perawatan dan Berpikir Kritis
Sejalan dengan telah dievaluasinya tujuan, penyesuaian terhadap rencana asuhan dibuat sesuai dengan keperluan. Jika tujuan telah terpenuhi dengan baik, bagian dari rencana asuhan tersebut dihentikan. Tujuan yang tidak terpenuhi dan tujuan yang sebagian terpenuhi mengharuskan perawat untuk mengaktifkan kembali urutan dari proses keperawatan. Setelah perawat mengkaji klien kembali, diagnosa keperawatan dapat dimodifikasi atau ditambahkan dengan tujuan, hasil yang diharapkan sesuai, dan intervensi ditegakkan. Perawat juga menetapkan kembali prioritas. Hal ini merupakan langkah penting dalam berpikir kritis mengetahui bagaimana klien mengalami kemajuan dan bagaimana masalah dapat teratasi atau memburuk. Perawat dengan cermat memantau dan deteksi dini terhadap masalah adalah pertahankan garis depan klien (Benner, 1984).
      Aspek-Aspek Berpikir Kritis
Kegiatan berpikir kritis dapat dilakukan dengan melihat penampilan dari beberapa perilaku selama proses berpikir kritis itu berlangsung. Berpikir kritis seseorang dapat dilihat dari beberapa aspek :
1)      Relevance
      Relevansi (keterkaitan) dari pernyataan yang dikemukakan.
2)      Importance
Penting tidaknya isu atau pokok-pokok pikiran yang dikemukakan.
3)      Novelty
Kebaruan dari isi pikiran, baik dalam membawa ide-ide atau informasi baru maupun dalam sikap menerima adanya ide-ide baru orang lain.
4)      Outside Material
Menggunakan pengalamannya sendiri atau bahan-bahan yang diterimanya dari perkuliahan (refrence).
5)      Ambiguity clarified
Mencari penjelasan atau informasi lebih lanjut jika dirasakan ada ketidak jelasan.
6)      Linking ideas
Senantiasa menghubungkan fakta, idea tau pandangan serta mencari data baru dari informasi yang berhasil dikumpulkan.
7)      Justification
Member bukti-bukti, contoh, atau justifikasi terhadap suatu solusi atau kesimpulan yang diambilnya. Termasuk di dalalmnya senantiasa member penjelasan mengenai keuntungan (kelebihan) dan kerugian (kekurangan) dari suatu situasi atau solusi
8)      Critical assessment
Melakukan evaluasi terhadap setiap kontribusi/ masukan yang dating dari dalam dirinya maupun dari orang lain.
9)      Practical utility
Ide-ide baru yang dikemukakan selalu dilihat pula dari sudut keperaktisan/ kegunaanya dalam penerapan
10)  Width of understanding
Diskusi yang dilaksanakan senantiasa bersifat muluaskan isi atau materi diskusi.
Secara garis besar, perilaku berpikir kritis diatas dapat dibedakan dalam beberapa kegiatan:
a.       Berpusat pada pertanyaan (focus on question)
b.      Analisa argument (analysis arguments)
c.       Bertanya dan menjawab pertanyaan untuk klarifikasi (ask and answer questions of clarification and/or challenge)
d.      Evaluasi kebenaran dari sumber informasi (evaluating the credibility sources of information)



DAFTAR PUSTAKA

Perry & Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Volume I, Jakarta : EGC.

Perry & Potter. 2006. Fundamental of Nursing Edisi 9, Jakarta : Salemba Medika

Minggu, 17 Juli 2011

Termoregulasi

      Pengertian Termoregulasi
Termoregulasi adalah Suatu pengaturan fisiologis tubuh manusia mengenai keseimbangan produksi panas dan kehilangan panas sehingga suhu tubuh dapat dipertahankan secara konstan.
Keseimbangan suhu tubuh diregulasi oleh mekanisme fisiologis dan prilaku. Agar suhu tubuh tetap konstan dan berada dalam batasan normal, hubungan antara prodksi panas dan pengeluaran panas harus dipertahankan. Hubungan diregulasi melalui mekanisme neurologis dan kardiovaskular. Perawat menerapkan pengetahuan mekanisme kontrol suhu untuk meningkatkan regulasi suhu.
Hipotalamus yang terletak antara hemisfer serebral, mengontror suhu tubuh sebagaimana kerja termostat dalam rumah. Hipotalamus merasakan perubahan ringan pada suhu tubuh. Hipotalamus anterior mengontror pengeluaran panas, dan hipotalamus posterior mengontror produksi panas.
  
      Faktor-faktor yang mempengaruhi termoregulasi
Banyak faktor yang mempengaruhi suhu tubuh. Perubahan pada suhu tubuh dalam rentang normal terjadi ketika hubungan antara produksi panas dan kehilangan panas diganggu oleh variabel fisiologis atau prilaku. Berikut adalah faktor yang mempengarui suhu tubuh :
a.       Usia
Pada saat lahir, bayi meninggalkan lingkungan yang hangat, yang relatif konstan, masuk dalam lingkungan yang suhunya berfluktuasi dengan cepat.suhu tubuh bayi dapat berespon secara drastis terhadap perubahan suhu lingkungan. Bayi baru lahir mengeluaran lebih dari 30% panas tubuhnya melalui kepala oleh karena itu perlu menggunakan penutup kepala untuk mencegah pengeluaran panas. Bila terlindung dari ingkungan yang ektrem, suhu tubuh bayi dipertahankan pada 35,5 ºC sampai 39,5ºC. Produksi panas akan meningkat seiring dengan pertumbuhan bayi memasuki anak-anak. Perbedaan secara individu 0,25ºC sampai 0,55 ºC adalah normal (Whaley and Wong, 1995).
Regulasi suhu tidak stabil sampai pubertas. Rentang suhu normal turun secara berangsur sanpai seseorang mendekati masa lansia. Lansia mempunyai rentang suhu tubuh lebih sempit daripada dewasa awal. Suhu oral 35 ºC tidak lazim pada lansia dalam cuaca dingin. Namun rentang shu tubuh pada lansia sekitar 36 ºC. Lansia terutama sensitif terhadap suhu yang ektrem karena kemunduran mekanisme kontrol, terutama pada kontrol vasomotor ( kontrol vasokonstriksi dan vasodilatasi), penurunan jumlah jaringan subkutan, penurunan aktivitas kelenjr keringat dan penurunan metabolisme.
b.      Olahraga
Aktivitas otot memerlukan peningkatan suplai darah dalam pemecahan karbohidrat dan lemak. Hal ini menyebabkan peningkatan metabolisme dan produksi panas. Segala jenis olahraga dapat meningkatkan produksi panas akibatnya meningkatkan suhu tubuh. Olahraga berat yang lama, seperti lari jaak jauh, dapat meningatkan suhu tubuh untuk sementara sampai 41 ºC.
c.       Kadar hormon
Secara umum, wanita mengalami fluktuasi suhu tubuh yang lebih besar dibandingkan pria. Variasi hormonal selama siklus menstruasi menyebabkan fluktuasi suhu tubuh. Kadarprogesteron meningkat dan menurun secara bertahap selama siklus menstruasi. Bila kadar progesteron rendah, suhu tubuh beberapa derajat dibawah kadar batas. Suhu tubuh yang rendah berlangsung sampai terjadi ovulasi. Perubahan suhu juga terjadi pada wanita menopause. Wanita yang sudah berhenti mentruasi dapat mengalami periode panas tubuh dan berkeringat banyak, 30 detik sampai 5 menit. Hal tersebut karena kontrol vasomotor yang tidak stabil dalam melakukan vasodilatasi dan vasokontriksi (Bobak, 1993)
d.      Irama sirkadian
Suhu tubuh berubah secara normal 0,5 ºC sampai 1 ºC selama periode 24 jam. Bagaimanapun, suhumerupakan irama stabil pada manusia. Suhu tubuh paling rendah biasanya antara pukul 1:00 dan 4:00 dini hari. Sepanjang hari suhu tubuh naik, sampai seitar pukul 18:00 dan kemudian turun seperti pada dini hari. Penting diketahui, pola suhu tidak secara otomatis pada orang yang bekerja pada malam hari dan tidur di siang hari. Perlu waktu 1-3 minggu untuk perputaran itu berubah. Secara umum, irama suhu sirkadian tidak berubah sesuai usia. Penelitian menunjukkan, puncak suhu tubuh adalah dini hari pada lansia (lenz,1984).
e.       Stres
Stres fisik dan emosi meningkatkan suhu tubuh melalui stimulasi hormonal dan persarafan. Perubahan fisiologi tersebut meningkatkan panas. Klien yang cemas saat masuk rumah sakit atau tempat praktik dokter, suhu tubuhnya dapat lebih tinggi dari normal
f.       Lingkungan
Lingkungan mempengaruhi suhu tubuh. Jika suhu dikaji dalam ruangan yang sangat hangat, klien mungkin tidak mampu meregulasi suhu tubuh melalui mekanisme pengluaran-panas dan suhu tubuh akan naik. Jika kien berada di lingkungan tanpa baju hangat, suhu tubh mungkin rendah karena penyebaran yang efektif dan pengeluaran panas yang konduktif. Bayi dan lansia paling sering dipengaruhi oleh suhu lingkungan karena mekaisme suhu mereka kurang efisien.

§  Perubahan suhu
Perubahan suhu tubuh di luar rentang normal mempengaruhi set point hipotalamus. Perubahan ini dapat berhubungan dengan produksi panas yang berlebihan, pengeluaran panas yang berlebihan, produksi panas minimal. Pengeluaran panas minimal atau setiap gabungan dari perubahan tersebut. Sifat perubahan tersebut mempengauhi masalah klinis yang dialami klien.
a.       Demam
Demam atau hiperpireksia terjadi karena mekanisme pengeluara panas tidak mampu untuk mempertahankan kecepatan pengeluaran kelebihan produksi panas, yang mengakibatkan peningkatan suhu tubuh abnormal. Tingkat ketika demam mengancamkesehatan seringkali merupkan sumber yang diperdebatkan di antara pemberi perawatan kesehatan. Demam biasanya tidak berbahaya jika berada pada suhu dibawah 39 ºC. Pembacaan suhu tunggal mungkin tidak menandakan demam. Davis dan lentz (1989) merekomendasikan untuk menentukan demam berdasarkan beberapa pembacaan suhu dalam waktu yang berbeda  pada satu hari dibandingkan dengan suhu normal tersebut pada waktu yang sama, di samping terhadap tanda vital dan gejala infeksi. Demam sebenarnya merupakan akibat dari perubahan set point hipotalamus.
b.      Kelelahan akibat panas
Kelelehan akibat panas terjadi bila diaforesis yang banyak mengakibatkan kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebih. Disebabkan oleh lingkungan yang terpajan panas. Tanda dan gejala kurang volume cairan adalah hal yang umum selama kelelehan akibat panas. Tindakan pertama yaitu memindahkan klien ke lingkungan yg lebih dingin serta memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit.
c.       Hipertermia
Peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan ketidakmampuan tubuh untuk meningkatkan pengeluaran panas atau menurunkan produksi panas adalah hipertermia. Setiap penyakit atautrauma pada hipotalamus dapat mempengaruhi mekanisme pengeluaran panas. Hipertermia malignan adalah kondisi bawaan tidak dapat mengontrol produksi panas, yang terjadi ketika orang yang rentan menggunakan obat-obatan anestetik tertentu.
d.      Heatstroke
Pajanan yang lama terhadap sinar matahari atau lingkungan dengan suhu tinggi dapat mempengaruhi mekanisme pengeluaran panas. Kondisi ini disebut heatstroke, kedaruratan yang berbahaya panas dengan angka mortalitas yg tinggi. Klien berisiko termasuk yang masih sangat muda atau sangat tua, yang memiliki penyakit kardiovaskular, hipotiroidisme, diabetes atau alkoholik. Yang juga termasuk beresiko adalah orang yang mengkonsumsi obat yang menurunkan kemampuan tubuh untuk mengeluarkan panas (mis. Fenotiasin, antikolinergik, diuretik, amfetamin, dan antagonis reseptor beta- adrenergik) dan mereka yang menjalani latihan olahraga atau kerja yang berat (mis. Atlet, pekerja kontruksi dan petani). Tanda dan gejala heatstroke termasuk gamang, konfusi, delirium, sangat haus, mual, kram otot, gangguan visual, dan bahkan inkotinensia. Tanda yang paling dari heatstroke adalah kulit yang hangat dan kering.
Penderita heatstroke tidak berkeringat karena kehilangn elektrolit sangat berat dan malfungsi hipotalamus. Heatstroke dengan suhu lebih besar dari 40,5 ºC mengakibatkan kerusakan jaringan pada sel dari semua organ tubuh. Tanda vital menyatakan suhu tubuh kadang-kadang setinggi 45 ºC, takikardia dan hipotensi. Otak mungkin merupakan organ yang terlebih dahulu terkena karena sensitivitasnyaterhdap ketidakseimbangan elektrolit. Jika kondisi terus berlanjut, klien menjadi tidak sadar, pupil tidak reaktif. Terjadi kerusakan nourologis yang permanen kecuali jika tindakan pendinginan segera dimulai.
e.       Hipotermia
pengeluaran panas akibat paparan terus-menerus terhadap dingin mempengaruhi kemampuan tubuh untuk memproduksi panas, mengakibatkan hipotermia. Hipotermia diklasifikasikan melalui pengukuran suhu inti. Hal tersebut dapat terjadi kebetulan atau tidak sengaja selama prosedur bedah untuk mengurangi kebutuhan metabolik dan kebutuhan tubuh terhada oksigen.
Hipotermia aksidental biasanya terjadi secara berangsur dan tidak diketahui selama beberapa jam. Ketika suhu tubuh turun menjadi 35 ºC, klien menglami gemetar yang tidak terkontrol, hilang ingatan, depresi, dan tidak mampu menila. Jika suhu tubuh turun di bawah 34,4 ºC, frekuensi jantung, pernafasan, dan tekanan darah turun. kulit menjadi sianotik.